Rabu, 24 Juli 2013

Subhanallah! Masjid Agung di Afrika ini Terbuat dari Lumpur

Subhanallah! Masjid Agung di Afrika ini Terbuat dari Lumpur

Jakarta - Masjid sebagaimana bangunan pada umumnya, dibangun dari campuran material dan konstruksi yang kokoh. Karena nantinya bangunan tersebut akan menampung banyak jamaah untuk ibadah. Sehingga harus benar-benar kokoh dan tahan goncangan.

Namun tidak dengan masjid di Mali, benua Afrika yang satu ini. Masjid ini tampak megah, padahal dibangun dari material lumpur. Subhanallah!

Masjid Agung Djenne, Mali terbuat dari lumpur. Masjid ini didirikan pada tahun 800 Masehi, dan menjadi salah satu bangunan tertua di kawasan kota tua Djenne, Mali. Masjid Agung Djenne dibangun kembali pada tahun 1907 dengan sentuhan gaya percampuran arsitektur Sudano dan Sahel yang masih utuh hingga kini.

Dari situs wisata Djenne, Sabtu (20/7/2013), Kota Djenne mempunyai hubungan erat dengan sistem perdagangan emas, garam dan barang-barang lain yang keluar masuk kawasan ini. Selama bertahun-tahun kota ini juga menjadi pusat keilmuan Islam.

Para penduduk mendirikan masjid ini dengan susah payah. Namun, sempat diruntuhkan oleh Suku Amadu karena mereka ingin menyaingi dan membangun masjid baru yang tak kalah megah.

Semua sisi dinding-dinding masjid terbuat dari lumpur yang dikeraskan dengan bantuan langsung energi matahari. Kemudian bagian luar diperhalus dengan tambahan polesan lapisan lumpur sehingga tampil seperti pahatan.

Ketebalan dan tinggi dinding bervariasi, sekitar 41 cm dan 61 cm. Berguna untuk menahan berat struktur masjid yang tinggi. Selain itu juga untuk melindungi dari radiasi sinar matahari. Sifat lumpur memang mudah menyerap hawa panas matahari dan membuat suasana masjid menjadi hangat.

Masjid unik ini berada di sekitar tepi Sungai Bani. Untuk melindungi dari kerusakan air, terutama banjir semua struktur dibangun pada ketinggian tanah di atas 3 meter.

Cara perawatan masjid ini cukup unik dengan mengadakan festival unik yang hampir dirayakan setahun sekali. Semua penduduk Djenne berperan aktif untuk merawat masjid ini. Biasanya festival tersebut dijadikan ajang perlombaan yang diadakan untuk melihat siapa yang akan menjadi yang pertama untuk memberikan polesan ke dinding masjid.

Biasanya anak laki-laki yang saling bekerjasama memoles dinding dengan beberapa adukan lumpur yang sudah disiapkan sebelumnya. Kemudian anak perempuan berlari ke dekat bangunan membawa beberapa air untuk membuat adukan lumpur.

Sedangkan para orang tua mereka duduk di pinggiran masjid bersorak sorai menyaksikan festival ini. Suara gemuruh musik islami dan bazar makanan turut serta memeriahkan festival ini.

UNESCO telah menetapkan bangunan masjid ini serta kawasan kota tua Djenne menjadi situs warisan dunia pada tahun 1988. Meskipun ada banyak masjid yang lebih tua saat ini, Masjid Agung Djenne tetap simbol paling menonjol dari kota Djenn dan bangsa Mali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar